Artikel ini dimuat dalam Koran Harian Suara Pemred Kalimantan Barat Pontianak pada tanggal 5 Juli 2019 Oleh KH Abd Hamid Abdullah. Berikut ini artikel lengkapnya:
MAKNA STQHN BAGI KERUKUNAN BERBANGSA
Oleh: KH. Abd Hamid
Abdulloh
Ketua III Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an Jawa Timur
Sejarah Indonesia
mencatat bahwa MTQ sudah sejak lama dilombakan baik di pelosok perkampungan,
tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi bahkan nasional. Untuk kedua kalinya
setelah tahun 1985, Provinsi Kalimantan Barat beruntung menjadi tuan rumah
dalam penyelenggaraan even keagamaan yaitu perlombaan membaca Al-Qur’an pada level
nasional. Dipilihnya Provinsi Kalimantan Barat, khususnya Kota Pontianak bukanlah
tanpa alasan. Kalimantan Barat menjadi tuan rumah STQH Nasional karena daerah
ini syarat dengan kearifan lokal berupa keberagaman etnis, agama, budaya, dan
sejarah dan telah terbukti bahwa masyarakat Kalimantan Barat mencintai nilai
kedamaian dan kerukunan.
Kegiatan ini
tentunya bukanlah seremonial belaka, melainkan sebuah pengejawantahan
penghormatan atas kesucian Al-Quran sebagai kitab sakral umat Islam di samping
perintah Allah dan Rasulullah agar gemar membaca, menghafal, menelaah serta
internalisasi nilai-nilai Al-Quran dan Hadits.
Ada hal yang
menarik dengan Musabaqah Tilawatil Quran di Indonesia karena jauh lebih semarak
daripada acara yang sama di negara lain seperti di Arab Saudi, Quwait, Iran dan
beberapa negara lainnya. Jika di luar negeri penyelenggaraannya hanya
dipusatkan di dalam gedung, maka di negeri kita, justru diadakan di beberapa
ruang bahkan ada yang berlangsung di ruang terbuka seperti lapangan, alun-alun
ataupun tempat-tempat ikonik seperti Tugu Katulistiwa di Kota Pontianak.
Gelarannya juga dibingkai dengan seremoni massif dengan melibatkan berbagai
elemen masyarakat lintas etnik, suku, daerah dan agama seperti pawai,
pertunjukan seni, pameran dan bazar.
Oleh karenanya
rangkaian kegiatan musabaqah tersebut sesungguhnya tidak saja ada dalam tataran
ritual vertikal namun lebih dari itu sudah meluas pada makna sosial horizontal.
Ada hal-hal yang ingin diraih oleh berbagai kafilah selain prestasi peserta,
upaya-upaya promosi daerahnya, namun juga aspek lain yang sangat penting yaitu implementasi
nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan bermasyarakat yang religius, rukun dan
damai.
Maka tidak
heran apabila tokoh terkemuka semisal H.A.R Gibb telah mengakui bahwa Al-Quran
selama kurang lebih seribu lima ratus tahun merupakan media bernada nyaring
yang mampu mendamaikan hati dan menggetarkan jiwa karena kedalaman bahasa,
kedalaman makna, ketelitian, keseimbangan, kekayaan, kebenaran dan kemudahan
pemahaman, juga kehebatan kesan yang dipancarkannya. Semua itu -menurut
Jalaluddin As-Suyuti dalam Al-Itqan fi
Ulumil Qur'an- adalah karena “Al-Qur'an memiliki keistimewaan dari
deskripsi penyusunan yang menakjubkan, penggunaan kalimat yang unik yang tidak
ditemui baik sebelum ataupun sesudah turunnya Al-Qur'an”.
Sebut saja qori’ asal
Mesir, Syeikh Siddiq Al-Minsyawi, yang dengan kehalusan jiwanya banyak membuat
pendengar merasa lebih dekat dengan penciptanya. Imam masjidil harom, Syeikh Sudais dan Suraim contohnya,
juga kerapkali menangis tersedu-sedu ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an.
Sejarah mencatat, hati Jubair bin Muth'im serasa terbang damai ketika mendengar Rasululloh membaca salah satu ayat Qur'an
(Jalaluddin Assuyuti, Al-Itqan fi ulumil
qur'an:314).
Seorang qari’, mufassir maupun hafidz yang
baik memang semestinya memadukan antara suara merdu,
keharmonisan lagu/irama tanpa melanggar kaidah tajwid dan diiringi dengan adab
membaca Qur’an. Maka untuk melengkapi ilmu qiraah dan
kepekaannya, maka pembelajaran qiraahnya senantiasa dilengkapi dengan ilmu
tajwid, makharijul huruf (ilmu pelafalan huruf Al Quran), dzauq
(cita rasa bahasa), dan sebagainya. Kepekaan
terhadap makna isi Al-Qur'an lebih digunakan sebagai instrumen mengasah diri
untuk memiliki dzauq (perasaan) ilahiyah. Karena hanya dengan dzauq ilahiyah
inilah, para peserta STQH diharapkan memiliki rasa khauf pada Allah, sebagai
pondasi dasar membangun mental dan moral Islam yang damai. Dzauq perlu diasah sehingga baik pembaca, pendengar
dan pendidik Al-Qur’an dapat menyentuh hati untuk mengagungkan kalam
ilahi tersebut. Menurut
al-Ghazali, Dzauq merupakan kehadiran hati (hudhur al-qalb) ketika membaca
firman Allah secara terus-menerus. Buah dari mengingat Allah, menghasilkan cita
rasa spiritual (dzauq) paling dalam di tengah kesadaran tertinggi.
Seleksi
Tilwatil Qur’an dan Hadits (STQH) kali ini tentunya tidak lain bertujuan untuk
mendekatkan jiwa umat Islam kepada kitab suci dan meningkatkan semangat
membaca, mempelajari, mengamalkan Al-Qur’an serta menunjukkan kepada publik bahwa Musabaqah telah
membangun spirit keagamaan, kebangsaan, dan kerukunan. Musabaqah
yang menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi, harus benar-benar diresapi selama penyelenggaraan kali ini dan pesan-pesan
moralnya dijiwai setelah kita
kembali ke daerah masing-masing
Kemenangan dalam kejuaraan setiap kafilah memang penting. Tetapi lebih dari
itu, menjaga nilai-nilai Al-Qur’an untuk diimplemetasikan dalam kehidupan sehari-hari
jauh lebih penting. Mudah-mudahan Seleksi Tilawatil Qur’an Hadits (STQH) kali ini melahirkan insan-insan yang
senantiasa mencintai Al-Qur’an dan Hadits sehingga Indonesia menjadi bangsa
yang rukun dan damai
0 komentar:
Posting Komentar